PERNIKAHAN ADALAH MENYATUKAN DUA HATI YANG BERBEDA
Kebahagiaan, dimana ya kebahagiaan yang kita inginkan itu? Kenapa seseorang yang pernah berjanji membahagiakan kita ternyata malah lebih memikirkan dirinya sendiri ketimbang kebahagiakan kita? Itulah yang biasanya dipikirkan setiap orang yang mempunyai pasangan yang menuntut pasangannya untuk membahagiakan dirinya.
Tuhan memang menciptakan manusia berpasang-pasangan dengan tujuan agar dia tidak sendiri lagi dan bisa saling membantu serta untuk melanjutkan keturunan. Banyak pasangan yang yakin bahwa bila mereka melangkah ke jenjang pernikahan mereka akan lebih bahagia. Tapi pada kenyataannya impian tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan.
Mungkin ada beberapa pasangan yang bisa langsung klik dengan pasangannya, mereka mampu menyelaraskan keinginan dan harapan mereka bersama-sama dan bisa saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing serta mampu mengatasi kesulitan bersama-sama, saling bergandeng tangan menghadapi gelombang kehidupan mereka, merasakan suka dan duka, kesedihan dan kegembiraan bersama-sama sehingga harapan, impian dan kebahagiaan dapat mereka wujudkan bersama.
Tapi bagaimana dengan mereka yang memimpikan kebahagiaan pernikahan dan ternyata justru merasa mendapatkan masalah-masalah baru?
Pastilah masalah setiap pasangan berbeda-beda, dari sulitnya menerima sifat dan sikap buruk pasangan yang baru terlihat setelah hidup bersama, diikuti dengan kehadiran si buah hati yang seharusnya merupakan kebahagiaan untuk setiap pasangan tapi mungkin malah menimbulkan permasalahan baru yaitu tambahan biaya untuk kebutuhan sang anak, perbedaan dalam mendidik anak, biaya sekolah anak, kebutuhan sehari-hari, biaya ini biaya itu.
Hal-hal yang demikian yang kadang membuat pasangan merasa tidak bahagia. Si istri menuntut biaya yang lebih karena kebutuhan rumah tangga tak tercukupi sedangkan penghasilan suami pas-pasan, atau mungkin juga suami merasa kesal karena merasa tidak lagi diperhatikan, ia merasa apapun yang ia lakukan tidak pernah dihargai dan apapun yang ia lakukan selalu salah di mata sang istri dan yang ia berikan tidak berarti buat sang istri sehingga dia lebih suka pergi keluar rumah dan mencari kesenangan sendiri yang diharapkan dapat memberikan ketenangan dan kebahagiaan yang dicarinya.
Kadang dari latar belakang kehidupan keluarga dimana mereka dibesarkan dan tata cara yang berbeda juga bisa menjadikan masalah, misal suami dibesarkan dalam lingkungan yang tidak diterapkan kedisiplinan dan keteraturan sedang sang istri terbiasa dibesarkan dengan kedisilplinan dan keteraturan. Hal tersebut juga bisa jadi pemicu keretakan rumah tangga. Atau masing-masing mempunyai ego yang besar yang maunya menang sendiri, maunya suami atau istri mengikuti aturan yang ia inginkan namun suami atau istri tersebut tidak mau menerima aturan yang dibuat.
Kadang suami sudah merasa memenuhi semua kebutuhan atau istri sudah merasa melayani semaksimal mungkin untuk membantu dalam pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak-anak tapi tetap saja ada yang kurang atau tidak ada kenyamanan atau kepuasan batin dari masing-masing pasangan. Hal itu pun dapat memicu ketidakharmonisan dalam keluarga.
Semua hal tersebut membuat pasangan merasa tidak bahagia lalu mudah marah, saling menyalahkan, melupakan komitmen yang telah disepakati sejak awal untuk saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain. Lalu terciptalah kekecewaan, penyesalan, perselingkuhan, sakit hati, rasa tertekan / depresi yang akhirnya berdampak pada ketidakbahagiaan kedua pasangan maupun kebahagiaan anak-anak mereka karena orangtua yang seharusnya tempat mereka berlindung dan menyayangi mereka berseteru satu sama lain. Anak-anak menjadi korban dari permasalahan kedua orangtuanya, yang mungkin akan berdampak buruk bagi perkembangan psikologis mereka.
Apapun yang terjadi selanjutnya dalam kehidupan rumah tangga hanya pasangan yang bersangkutan yang merasakan. Ada persoalan rumah tangga yang bisa diselesaikan hanya apabila keduanya mau saling memahami dan mendengarkan pasangannya, tapi ada juga masalah yang dibicarakan malah bertambah rumit karena tidak adanya kesesuaian pendapat dan perasaan cinta yang sudah hilang di antara mereka dan akhirnya tak terselesaikan, serta tidak adanya keinginan untuk menyelesaikan masalah yang berakhir dengan perpisahan pasangan tersebut karena menurut mereka itulah jalan keluar satu-satunya agar mereka tidak terus menerus berselisih paham.
Ya, pernikahan memang bertujuan untuk saling membahagiakan bukan untuk saling menyakiti. Tapi tidaklah mudah menyatukan dua hati dan dua pikiran yang berbeda kecuali keduanya mau saling meredam ego dan mau lebih memikirkan serta mendahulukan apa tujuan utama pernikahan mereka yang sesungguhnya.
Kebahagiaan yang sesungguhnya dalam suatu pernikahan adalah bagaimana masing-masing pasangan mau belajar memahami satu sama lain, saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing, harus mau untuk sedikit merubah diri bukan untuk mengalah tapi untuk sedikit menurunkan ego dan menyadarkan diri bahwa ia tidak sendiri lagi dan pernikahan bukan tempat untuk bernaung satu atau dua hari tapi untuk selamanya.
Banyak sekali hal-hal yang sebenarnya harus dipelajari dalam suatu pernikahan bahkan mungkin butuh waktu seumur hidup untuk mengenal dan memahami sikap dan sifat pasangan, belum lagi keadaan hidup yang naik turun yang menguji kekuatan ikatan pernikahan dari pasangan tersebut. Yang seharusnya dilakukan adalah lebih mendahulukan kepentingan bersama daripada kesenangan diri sendiri, lebih banyak bersabar, belajar ikhlas, saling mengasihi dan mau memaafkan. Hal-hal tersebut yang seharusnya dilakukan dalam suatu pernikahan, dan yang terutama adalah selalu berdoa dan tawakal karena atas ijin Tuhan suatu pernikahan itu dapat terjadi.